Saturday, 20.Apr.2024, 5:03 AM
Main » Site Catalog » Science and Education

Sites in category: 3
Shown sites: 1-3

Sort by: Date · Name · Rating · Clicks
Bila anda pernah berkunjung atau pernah merasakan kuliah di Universitas Negeri Semarang (Unnes), maka ketika anda sekarang datang lagi pasti akan terperangah dengan keadaannya yang benar-benar hijau royo-royo. Suasana yang dulu  gersang kini berubah menjadi suasana yang sejuk, rindang, dan mengasyikkan. Selain itu, Unnes sekarang juga memiliki dua embung resapan air hujan yang luas yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat untuk menghilangkan kepenatan pikiran kita.

Universitas Negeri Semarang (Unnes) sekarang benar-benar hijau dan tidak salah disebut sebagai Universitas Konservasi, bahkan yang pertama di Indonesia. Sebutan Universitas Konservasi lebih lengkap setelah pada tanggal 12 Maret 2010 dilakukan Pengukuhan Unnes sebagai Universitas Konservasi oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof. DR. Ir. Moh. Nuh.

Perjuangan menjadi sebuah Universitas konservasi sudah dimulai sejak tahun 2005, dan bukan hasil yang sia-sia sebab sekarang Unnes sudah lebih layak untuk menjadi contoh dan referensi kawasan konservasi di Kota Semarang. Secara geografis, Unnes terletak di daerah pegunungan dengan topografi yang beragam dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati (biodiversity) baik flora maupun fauna yang relatif tinggi.

Lingkungan Sekitar Unnes Juga Perlu di KonservasiPada tahun 1991 orang tidak akan menyangka kalau keberadaan Universitas penghasil guru ini akan lain seperti ini. Dulu kondisi Sekaran yang sekarang ditempati Unnes adalah kawasan yang tidak ada apa-apanya, tandus, kering bahkan orang tidak akan pernah mendengar nama Sekaran. Namun, keberadaannya 20 tahun kemudian berubah. Sekaran menjadi salah satu desa yang berubah menjadi kota atau kalau mau dibilang "Kota di Pegunungan”.

Lihat saja, di sepanjang jalan Taman Siswa (dulu Cuma jalan Sekaran-Banaran) sudah banyak berdiri tempat-tempat usaha yang begitu menggiurkan bagi para pemilik modal. Mereka berlomba-lomba menarik keuntungan dengan berdagang dengan kelebihan masing-masing. Dimulai dari usaha warung-warung makan yang menyediakan sarana konsumsi mahasiswa, toko kelontong, toko elektronik, Toko Pulsa, Toko  Komputer, salon, Warnet, Arena Playstation, Fotocopy, dan lain sebagainya semuanya ada di sini. Sehingga, mahasiswa ataupun warga masyarakat Sekaran tidak perlu lagi berbelanja jauh-jauh seperti 15–20 tahun yang lalu.

Namun, pantas disayangkan sebab lingkungan di dalam kampus begitu rindang dan tertata rapi berlawanan keadaanya dengan keadaan lingkungan sekitarnya, khususnya di daerah Sekaran atau Banaran yang banyak dijadikan tempat kos mahasiswa maupun sebagai tempat usaha warga masyarakat setempat.

Masyarakat sekitar sepertinya tidak mau direpotkan dan mereka sepertinya acuh dengan keadaan yang dengan keadaan ini. Berjubelnya kos-kosan yang ada dan usaha-usaha masyarakat yang dibangun benar-benar jauh dari nilai-nilai konservasi yang dilakukan oleh pihak Unnes. Sebagai contoh dari kondisi ini adalah minimnya kesadaran konservasi masyarakat baik mahasiswa, pedagang, maupun masyarakat setempat dalam mengatur dan menata lingkungan mereka. Sampah, adalah salah satunya.

Tidak banyak yang peduli dengan keberadaan masalah yang satu ini. Sehingga tidak jarang, jalan yang tadinya bersih enak untuk dilalui menjadi luapan sampah yang muncul dari gorong-gorong yang tidak diatur dengan baik oleh masyarakat.

Memang permasalahan ini bukan sepenuhnya menjadi tugas Unnes sebagai Universitas yang berdiri ditengah-tengahnya namun menilik dari program dan jargon Universitas Konservasi yang dimiliki Unnes sudah selayaknya masalah ini menjadi salah satu program utama disamping program-program konservasi yang dilakukan di dalam kampus. Unnes juga harus bisa melakukan konservasi terhadap lingkungan sekitarnya.Akan lebih indah dan akan lebih mengena jargon yang dimiliki oleh Unnes, tidak hanya dimiliki oleh pihak Unnes saja akan tetapi juga dimiliki oleh masyarakat sekitarnya.

Sebab, keberhasilan dari program Unnes Konservasi juga akan berdampak pada lingkungan masyarakatnya. Pihak Unnes harus mampu merangkul masyarakat (baik penduduk lokal, pendatang atau lain sebagainya) untuk mensukseskan program besar ini sehingga nanti benar-benar dapat dicontoh oleh Universitas-universitas lain di Indonesia dan masyarakat luas pada umumnya. Bisa menjadikan wilayah Sekaran dan sekitarnya sebagai model Konservasi yang benar-benar mengena bagi semua lapisan khususnya alam itu sendiri.
Science and Education | Transitions: 709 | Added by: Wiyanto, S.Pd | Date: 26.Sep.2011

Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia selalu mengalami pasang surut. Bila dulu banyak negara tetangga berlomba mengirimkan warga untuk belajar di Indonesia, kini sebaliknya, pendidikan Indonesia tertinggal jauh dari mereka.

Sementara negara lain berpacu meningkatkan teknologi dalam pendidikan, negara kita masih terseok-seok menentukan kurikulum apa yang tepat. Mungkin sudah menjadi tradisi para pemimpin negeri ini untuk menancapkan monumen kepemimpinan mereka, melalui kebijakannya, termasuk dalam bidang pendidikan. Sehingga tak heran, setiap ganti menteri, ganti kebijakan.

Entah sudah berapa kali kurikulum pendidikan di negeri ini berganti, menyebabkan buku kakak tak lagi dimanfaatkan adiknya. Belum selesai kurikulum A, sudah diganti dengan kurikulum B, belum selesai dilaksanakan kurikulum B sudah berganti lagi dengan kurikulum C. Yang terakhir, kurikulum baru yang dinamakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) untuk mengganti sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang diterapkan sebelumnya.

Apa sih KTSP itu? KTSP adalah sebuah kurikulum yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas No. 19 tahun 2007, yang memungkinkan sekolah menentukan sendiri kurikulum yang diajarkan kepada para siswa. Meski dibebaskan, namun kompetensi siswa telah dirumuskan dalam KBK. Dengan kebebasan ini, seorang guru diharapkan bisa memiliki inovasi dan daya kreatifitas yang tinggi untuk menyampaikan materi kepada peserta didiknya dengan baik. Penentuan kurikulum ini bisa berbeda antar satu sekolah dengan lainnya, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan para siswa.

Kurikulum baru ini belum teruji kualitas dan efektivitasnya. Banyak pula guru yang masih gagap untuk menyusun bahan ajar sendiri untuk memenuhi kompetensi yang diharapkan. Ya, semua memang butuh waktu. Kita berharap banyak pada kurikulum baru ini, agar tak semakin tertinggal dari negara lain.

Science and Education | Transitions: 711 | Added by: Wiyanto, S.Pd | Date: 26.Sep.2011

Membicarakan hal yang satu ini mungkin tidak akan habis-habisnya. Ya, dengan keadaan yang ada sekarang ini, ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya menuntut pendidikan murah. Tapi saya tidak ingin menulis tentang demo tersebut. Saya hanya ingin menceritakan beberapa keluhan handai taulan (bahkan sampai berdebat kusir hehehe) tentang pendidikan ini.

Salah satu teman saya, agak berang, bilang "Masak sudah sudah ada BOS, kita masih harus bayar Rp. 15.000 per bulan? Di SD lainnya kok enggak bayar lagi.”. Kebetulan memang anaknya berada di SD Negeri 2, dimana ada 3 SDN dalam satu lingkungan sekolah.

Saya coba jadi counter-nya, "Mungkin di SDnya banyak ekstra kurikuler. Sudah cek atau belum? Ada komputer atau enggak?”.

Dia langsung menyanggah, "Ah enggak ada kayak gituan. sama aja!”

Akhirnya lama berdebat, bahkan ditambah satu orang lagi. Cuma jadi kemana-mana buntutnya. Menuduh KepSek korupsi, Guru korupsi, Masya Allah. Setelah lama berdebat, disimpulkan bahwa sebagian dana anggaran orang tua tadi digunakan untuk perbaikan WC, prasarana gedung, tiang bendera, biaya mencat pagar dan lain-lain.

Akhirnya, saya merasa menyadari ada ketidak-adilan disini. Kalau sudah tidak adil, pasti melanggar Pancasila, "Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kita bisa bandingkan SD Negeri di tengah kota dengan SD Negeri di kampung. Terasa sekali ketimpangan sosial antara kedua SD tersebut. Berita hari ini, ada satu SDN yang roboh.

Menurut ‘mata-adil’ saya, seharusnyalah setiap Sekolah Negeri di negeri ini mempunyai prasarana yang sama, baik dipedalaman Papua sana, atau yang berada di pusat kota Jakarta. Tidak boleh dibedakan. Karena ini Sekolah Negeri (atau Sekolah miliknya negara), maka tidak boleh juga menerima sumbangan dari pihak lain. Mutlak harus dibiayai negara.

Perbedaan Uang Pangkal juga menjadi pertanyaan. Kok, sama sama sekolah negeri uang pangkal berbeda? Tiap sekolah pasti punya jawaban (atau alasan) mengapa mereka menarik uang pangkal sedemikian besar. Uang sejenis inipun harus ditiadakan untuk sekolah Negeri. Alasannya sama dengan di atas, tidak boleh ada perbedaan antar sekolah negeri.

Tentu lain halnya dengan sekolah swasta, yang sah-sah saja menerima sumbangan dari pihak manapun.
Saya tidak tahu keadaan makro dari Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan yang konon terlalu kecil. Saya juga tidak mengetahui kondisi dana subsidi Minyak (yang jadi BOS).

"Kaca mata” saya mungkin perlu diperbaiki, untuk menentukan apakah cukup adil kondisi di atas. Apakah benar pendapat saya, bahwa setiap Sekolah Negeri harus memiliki prasarana yang sama? Saya sendiri masih belum yakin. :)

Apalagi setelah baca blognya Harry Sekolah Swadaya – diskusi dengan penyelenggara sekolah gratis. Kok saya jadi merasa bahwa Negara tidak mampu memberikan pendidikan kepada warganya, seperti yang tercantum dalam UUD 45.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Science and Education | Transitions: 637 | Added by: Sunaryo Hadi | Date: 25.Sep.2011